Bisa!

take a deep breath… So here’s the thing

Aku memikirkan banyak hal…  Sebuah proses yang entah kapan awalnya.  Beberapa kegelisahan bertahun lalu sempat aku tumpahkan di novel pertamaku, yang menjadi pemenang sebuah lomba itu.  Entah bagaimana orang lain membacanya, tapi sesungguhnya novel itu adalah sebuah hadiah, sebuah pesan, atau apapunlah namanya, untuk kota Banjarmasin.

Sebagaimana sebuah buku novel, ia pun kemudian hanya berakhir menjadi kisah belaka. Dinikmati romantisme di dalamnya lalu kemudian ditelan tumpukan buku lain di dalam rak.

Dan apakah kegelisahan yang melanda saat saya menulis buku itu menular? kegelisahan akan semakin pudarnya identitas kota banjarmasin karena budaya korupsi / budaya rakus (greedy)- (harap dimaklumi saya menggunakan kata ini karena baru membaca tulisan “Greedy dan Green”-nya Ridwan Kamil)…  Dalam kasus Banjarmasin tentu bukan hutan babakan siliwangi bandung yang dipangkas untuk proyek komersil, tapi sungai dan kanal, dalam bahasa lokalnya (banjar) disebut dengan berbagai nama adalah handil, anjir, saka (baca lebih lanjut di sini)

Pertanyaan besarnya adalah kenapa tidak banyak yang menyadari? Atau sadar tapi tidak tahu harus berbuat apa. Lagipula toh yang berkuasa di Banjarmasin adalah pemerintah. Mau membangun di atas sungai, mengurug sungai, atau apapun asalkan menguntungkan pemerintah tetap di jalani.

Apa betul pemerintah untung?

Terakhir ke Banjarmasin bulan september lalu. Sebuah pusat perbelanjaan Metro City, yang tempat parkirnya di atas sungai Martapura tampak tutup. Saya ulangi METRO CITY yang pembangunan tempat parkirnya sempat bikin ribut banyak orang, dan tetap dibangun itu akhirnya TUTUP.  Apakah setelah itu tempat parkirnya dibongkar. Tidak, karena kemudian digunakan oleh pengunjung komplek pertokoan disekitarnya. Termasuk saya yang waktu itu parkir disana untuk memotret.

Bad design, bad bussiness.  Saya kira lebih banyak yang tidak diuntungkan oleh kasus ini.

Satu pengalaman yang membuat hati tergelitik saat saya dan teman mengunjungi kantor dinas pariwisata. Dalam sebuah obrolan,  petugas yang ngobrol bersama kami saat itu mengatakan bahwa beberapa waktu lalu ada sebuah acara kebudayaan tingkat provinsi. Pak gubernur berpesan pada mereka agar acara ini menampakkan kehadiran wisatawan asing. Dan patugas itu meyanggupi untuk meng“ada”kan mereka.

Sebuah usaha untuk meng-ada-kan sesuatu yang sudah jarang ini tentu adalah indikasi, bahwa banjarmasin sudah tidak menarik lagi bagi banyak orang luar.  Ya, tentu kalau menarik tanpa di -ada- kan pun tentu mereka sudah mengantri tiket penerbangan ke banjarmasin kan?

Pembunuhan karakter kota banjarmasin rupanya sudah menjadi banal. (maaf lagi menggunakan kata ini karena saya kemarin baru membaca sebuah kalimat tentang ambisi sebuah desain- dalam bahasa indonesianya kira-kira begini: Ambisi sebuah desain, adalah terserap ke dalam budaya, sehingga menjadi sesuatu yang tidak tampak, menjadi biasa, menjadi banal.)

Dapatkah sesuatu yang sudah biasa itu menjadi kelihatan? mewujud pada keperdulian? menjadi sebuah gerakan? melahirkan sebuah perbaikan?

Bisakah???

My answer is. BISA!

everything is possible… bahasanya adidas Impossible is nothing!

One thought on “Bisa!

Leave a comment